Pada dasarnya Kepala Desa mengelola keuangan yang bersumber dari APBN
atau APBD Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga Kepala Desa merupakan
Bendaharawan Pemerintah.
Ketentuan pengenaan pajak atas penggunaan dana desa yang bersumber
dari APBN atau APBD adalah tergantung pada jenis
pembayaran/pengeluarannya. Berikut adalah gambaran umum pengenaan pajak
atas pengeluaran oleh Kepala Desa.
1. Atas pembayaran kepada
orang pribadi berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain kecuali imbalan atas yang merupakan objek pengenaan PPh Final Pasal
4 ayat (2) (misalnya imbalan atas pekerjaan jasa konstruksi oleh orang
pribadi), Kepala Desa wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 21.
2. Atas pembayaran sewa tanah dan atau bangunan, pekerjaan
konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan penghasilan
lainnya yang merupakan objek pengenaan PPh Final Pasal 4 ayat (2),
Kepala Desa wajib melakukan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2).
3. Atas pembayaran sewa selain tanah dan atau bangunan dan jasa
selain yang merupakan objek pengenaan PPh Pasal 21, Kepala Desa wajib
melakukan pemotongan PPh Pasal 23.
4. Untuk pengeluaran berupa pembelian barang dengan jumlah melebihi
Rp 2.000.000, Kepala Desa wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22.
Kegiatan membangun jalan desa secara gotong royong/swa kelola
masyarakat tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 sepanjang tidak ada
upah berupa uang yang dibayarkan oleh Kepala Desa kepada para warga yang
bekerja.
Namun dalam hal terdapat pembelian barang dengan jumlah melebihi
Rp2.000.000, maka Kepala Desa harus mengenakan pemungutan PPh Pasal 22
sebesar 1,5 persen dari nilai pembelian barang tidak termasuk PPN.
Selanjutnya untuk pengeluaran sehubungan dengan belanja barang/jasa
kena pajak dari Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka Pajak Pertambahan Nilai
dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang wajib
dipungut, disetorkan ke Kas Negara dan kemudian dilaporkan ke Kantor
Pelayanan Pajak oleh Kepala Desa. (Sumber : Liputan6.com)